Oleh Eva Helviana Hafsah
Guru SMKN 1 Cikalongkulon
“Lelah”, kata itu yang sedang kurasakan sekarang. Sore ini aku baru saja menyelesaikan tugas-tugas
tambahan sebagai sekretaris OSIS di sekolahku. Sang ketua osis menyuruhku membuat beberapa
proposal kegiatan untuk bulan depan. Semua pengurus OSIS telah pulang hanya aku yang duduk di
ruangan itu sambil menghadap laptop. Sesekali kurentangkan tanganku dan kugerak-gerakkan
pingganggku ke kiri dan kanan untuk mengurangi rasa pegal karena duduk yang lama. Terdengar
bunyi pesan masuk dari selulerku.
“Gila, kamu mau kerja sampe mati? Masih di sekolah jam segini?”, tanya Raja salah satu temanku yang
duduk di kelas XI IPS 3.
Rupanya dia mengomentari story WhatsApp-ku. Aku membuat status memotret layar laptop dan
menunjukkan jam 5 sore.
“Iya, bentar lagi pulang koq”, aku jawab chat-nya.
“Kasian banget sih masa muda kamu dihabiskan untuk hal-hal yang membosankan”, dia mulai
meledek.
“Udah deh jangan ganggu, aku lagi males berantem nih”, aku membalasnya.
“Harusnya kamu main sama temen-temen kamu atau sama pacar kamu, oia kamu kan gak punya
pacar ya, mana ada yang mau sama cewek yang galak”, dia menambahkan emoticon tertawa
terbahak-bahak.
“Mending aku hidupku banyak manfaat daripada kamu tukang kabur, nongkrong, ngerorok, kasian
masa muda kamu dihabiskan untuk hal-hal yang tidak berguna”, aku balas meledeknya.
“Tapi kamu kenapa mau jadi sahabat aku?”, tanya dia.
“Entahlah, udah ah aku mau siap-siap pulang”, aku membalas chatnya kemudian mematikan data
selulernya karena tidak mau berdebat berkepanjangan dengannya. Jika sudah berdebat dengan dia,
itu akan memakan waktu lebih dari dua jam.
Benar juga apa yang diucapkan dia. Kenapa aku mau jadi sahabat dia? Alasannya karena dia tempat
aku mencurahkan segala keluh kesah dan kekesalanku. Dia pendengar yang baik. Biasanya dia
memberikan beberapa nasihat yang kadang ada benarnya juga. Hanya dia yang tahu cowok yang aku
taksir di sekolah itu. Aku tidak berani menceritakkan cowok yang aku sukai kepada sahabat
perempuanku karena takut mereka menceritakannya lagi ke teman-taman yang lainnya.
Aku dan Raja adalah sahabat sejak kami duduk di kelas X semester dua. Kami bersahabat tapi kami
sering tidak akur. Kami sering berbeda pendapat. Aku adalah anak kelas XI IPA 1 yang rajin. Aku
sekretaris OSIS dan aktif dalam segala kegiatan di sekolah. Raja adalah siswa kelas XI IPS 3 yang
sering sekali dipanggil oleh guru. Dia sering kabur di jam pelajaran, nongkrong di kantin sambil
merokok dan kadang dia tidak pergi sekolah malah nongkrong dengan anak-anak SMK Otomotif di
pinggir jalan. Entah mengapa dia disukai teman-temannya. Menurut anak-anak cowok, dia adalah
teman yang solider dan baik. Menurut teman-teman cewek dia adalah sosok cowok tampan dan
perhatian. Tidak heran dia sering sekali berganti-ganti pacar.
Aku ingat sekali pertama mengenal dia ketika kami sama-sama duduk di kelas X (sepuluh) semester
pertama. Aku datang ke kelasnya untuk mengabsen siswa yang tidak masuk hari itu. Dia adalah ketua
kelasnya. Aku memanggilnya dan menanyakan siapa saja yang tidak masuk hari itu.
“Permisi, bisa bicara dengan ketua kelasnya?”, aku mengetuk pintu kelas yang terbuka.
“Raja!”, panggil salah satu siswa ke temannya.
Kulihat para siswa di kelas itu sedang asyik mengobrol. Beberapa diantara mereka sedang
memainkan selulernya. Di kelas itu tidak ada guru yang mengajar pada saat itu.
“Masuk dong, gak sopan ngomong di luar!”, jawab seorang cowok yang dipanggil Raja yang sedang
duduk di atas meja.
Bajunya atasannya tidak dimasukkan. Celananya terlihat dikecilkan sehingga kakinya terlihat kecil
apalagi karena dia cukup kurus. Aku masuk dan menghampirinya.
“Kamu ketua kelasnya ya?”, aku bertanya sambil masuk ke kelas.
“Iya, kenapa? Gantengkan?”, tanya dia.
Aku heran kenapa ada anak yang begitu PD dengan dirinya sendiri.
“Siapa yang gak masuk hari ini?”, aku bertanya.
“Kenapa kamu begitu peduli?”, tanya dia.
“Aku disuruh guru piket ngecek siapa aja yang gak masuk hari ini”, aku jawab dengan sedikit kesal.
“Kamu babu ya, mau aja disuruh-suruh”, dia membalas dengan tersenyum meledek.
“Dengar, kamu tinggal jawab aja siapa aja yang gak masuk, gak usah rese deh”, aku mulai emosi.
“Aku gak mau bilang gimana dong, kecuali kamu bayar”, ucapnya dengan tenang.
“Kamu nyebelin ya orangnya, sekretarisnya siapa? Siapa yang gak masuk hari ini?”, aku bertanya ke
yang lainnya.
“Masuk semua!”, jawab salah satu siswa di belakang.
“Ok, terima kasih”, ucapku sambil berlalu pergi dan melirik dengan pandangan sinis ke sang ketua
kelas yang menyebalkan itu.
“Judes banget sih, biasa aja dong”, ucapnya.
Aku tidak menghiraukan ucapannya kemudian berlalu pergi ke luar.
(Bersambung bagian 2…)