Oleh Eva Helviana Hafsah
Guru SMKN 1 Cikalongkulon
Minggu lalu, aku pergi ke sebuah warung sayuran yang berada berdekatan rumahku. Sebut saja warung Teh Yuli. Biasanya aku membeli sayuran sore hari ketika pulang dari tempat kerja. Sampai di warung itu ternyata warungya tutup. Warung tersebut berada di teras rumah Teh Yuli. Di sana terdapat suaminya sedang duduk di kursi.
“Kang, kenapa tutup, teh Yuli kemana?”, tanyaku.
“Libur dulu”, jawabnya singkat.
Aku meninggalkan warung itu, kulihat anak teh Yuli sebut saja Sasa sedang digendong dan disuapin makanan oleh tetangga. Bayi berusia sekitar satu tahun itu seperti tidak menyukai makanannya dan merengek. Sasa diasuh oleh Teh Rini.
“Teh, sekarang ngasuh Sasa?”.
“Iya ngasuh”, jawabnya sambil menenangkan Sasa.
“Teh Yuli ke mana?”
“Kan kerja di Saudi”, jawab Teh Rini.
Aku merasa kaget bagaimana bisa bayi berusia satu tahun ditinggalkan ibunya mencari kerja ke negeri orang dalam waktu paling sebentar dua tahun. Anak seusia itu harusnya sedang mendapatkan kasih sayang yang penuh dari orang tuanya terutama ibunya. Bayi itu masih bergantung kepada ibunya karena masih membutuhkan ASI.
Aku juga kadang sering merasa bersalah karena masih menjadi wanita pekerja tapi aku merasa pekerjaanku tidak banyak menyita waktu sehingga masih bisa mengurus anak-anak di siang hari sepulang bekerja. Semua itu masih atas izin dari suami jika suami tidak mengizinkan maka aku pun tidak akan bekerja.
Kembali ke persoalan Teh Yuli tentu saja dia juga mungkin sudah mendapatkan izin dari suaminya. Namun, meninggalkan anak dan suami dalam waktu lama masih tidak bisa aku bayangkan. Anak sangat membutuhkan kasih sayang apalagi masih dalam tahap golden age. Itu adalah masa di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan maksimal. Tetangga sebaik-baiknya merawat anak itu tidak akan melebihi kasih sayang seorang ibu. Aku merasa kasihan melihat Sasa jika dia bisa berbicara mungkin dia akan berteriak memanggil ibunya atau menahan ibunya untuk tidak pergi meninggalkannya dalam waktu lama. Aku juga yakin Teh Yuli pasti berat mengambil keputusan ini tapi mungkin ini adalah jalan terbaik untuk masa depan mereka. Aku tidak bisa membayangkan ketika malam tertidur tanpa ada anak di sisiku tentu akan sangat menyiksa. Tekad yang kuat membuat Teh Yuli mengambil keputusan itu.
Selain anak suami juga ditinggalkan. Walaupun sudah mendapatkan izin tetapi seorang suami pasti sangat membutuhkan kebutuhan biologisnya yang harus dipenuhi. Banyak kasus istri bekerja di luar negeri demi masa depan dan suaminya malah menikah lagi. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan suaminya karena seorang laki-laki yang sudah menikah kebutuhan biologisnya harus terpenuhi.
Jika melihat dari luar menurutku kehidupan Teh Yuli dan suaminya tidak terlalu berada di bawah. Mereka memiliki rumah dan suaminya bekerja berdagang di pasar. Menurutku dengan Teh Yuli berjualan di rumah dan suaminya di pasar sudah cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, kembali lagi kita tidak mengetahui keadaan keluarga mereka seutuhnya sehingga mungkin memang sangat dibutuhkan untuk mencari rizki ke negeri orang lain karena katanya akan membuahkan hasil yang banyak.
Jika dilihat dari faktanya, banyak para TKW Indonesia yang berhasil setelah pulang dari luar negeri. Mereka membangun rumah dan membeli sawah. Namun, banyak juga yang tidak berhasil. Ada yang pulang dengan tangan hampa karena gajinya tidak dibayarkan oleh majikannya. Ada juga yang mendapatkan perlakuan tidak layak dari majikannya.
Sebenarnya para TKI itu disebut sebagai penyumbang devisa negara. Selayaknya pemerintah harus memerhatikan kebutuhan mereka. Pemerintah harus memeriksa para agen TKI apakah mereka melatih calon peyumbang devisa negara itu dengan baik? Para TKI itu harus cerdas dan terampil sehingga ketika bekerja di luar negeri tidak dimanfaatkan.